Penggunaan obat dari bahan alam khususnya yang dikenal dengan “jamu” oleh masyarakat Indonesia sudah dimulai sejak zaman dahulu, terutama dalam upaya pencegahan penyakit, peningkatan daya tahan tubuh, pengobatan serta mengembalikan kebugaran pada tubuh pasca melahirkan atau bekerja keras, bahkan untuk kecantikan dan keintiman wanita (Paryono & Kuniarum., 2014.) Akan menjadi suatu masalah apabila penambahan Bahan Kimia Obat (BKO) ke dalam jamu dengan tujuan menambah khasiat jamu dan memberikan efek jamu yang lebih instan dibandingkan jamu yang tidak mengandung BKO.

Berdasarkan peringatan BPOM pada 11 Desember 2016 terkait obat tradisional yang mengandung BKO dilarang penggunaannya. Sebanyak 39 obat tradisional mengandung BKO yang 28 di antaranya merupakan obat tradisional yang tidak terdaftar di Badan POM dan 11 lainnya memiliki izin edarnya dibatalkan. Temuan obat tradisional yang teridentifikasi mengandung BKO pada tahun 2016 didominasi oleh jamu pegal linu (penghilang rasa sakit) dan antirematik.

Sehingga penulis tertarik untuk melakukan penelitian yang serupa dengan metode dan tempat penelitian yang berbeda. Penelitian ini dilakukan di kawasan pasar malam kota Banjarmasin yang terdapat warung jamu di pinggir jalan. Dengan menggunakan metode Kromatografi Lapis Tipis (KLT) dan Spektrofotometri UV-Vis untuk melakukan identifikasi terhadap BKO pada sediaan jamu.

Hasil uji kualitatif sampel dan standar parasetamol menggunakan kromatografi lapis tipis (KLT) didapatkan nilai Rf sebesar 0,75 untuk baku pembanding dengan panjang gelombang UV 254 nm. Dari sampel jamu pegal linu yang mengandung BKO adalah sampel jamu dengan kode sampel C dan D yang dimana sampel C memiliki rata-rata serapan 0,025 dan sampel D memiliki rata-rata serapan 0,018. Dari hasil rata-rata ini dimasukkan ke dalam rumus persamaan regresi linier yang didapat dari pengukuran kurva kalibrasi y = 0,0038x – 0,0059. Dengan didapat nilai x untuk sampel C = 8,13 ppm dan x untuk sampel D = 6,28 ppm. Kedua jenis jamu ini berbentuk serbuk yang diduga memiliki khasiat menghilangkan rasa sakit dan rasa pegal. Di samping itu sediaan jamu ini juga tidak memiliki tanda registrasi dari Badan POM yang diduga kemungkinan jamu ini diproduksi dalam rumah tangga. Sehingga pengujian dan syarat-syarat dalam kualitas sediaan jamu terabaikan (Indriatmoko et al., 2019).

Informasi ini ditulis berdasarkan hasil penelitian oleh apt. Rahmadani, M. Farm dan apt. Tuti Alawiyah, S.Farm., MM. Dosen bidang Kimia Farmasi Universitas Sari Mulia.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *